Tarif 19% dan Perjanjian Dagang AS-Indonesia: Ancaman atau Kesempatan?
EKONOMI


Jakarta, 23 Juli 2025 – Dalam perbincangan mendalam antara Guru Gembul dan pengusaha nasional Pak Mardigu, terungkap berbagai sisi dari pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan mantan Presiden AS Donald Trump. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan tarif 19% untuk ekspor Indonesia ke AS, dan syarat pembelian produk-produk Amerika seperti pesawat Boeing, BBM, serta komoditas pertanian.
Namun, di balik angka dan kesepakatan itu, benarkah Indonesia dirugikan?
💰 Tarif 19%: Siapa yang Diuntungkan?
Pak Mardigu menjelaskan bahwa tarif 19% justru bisa menguntungkan Indonesia. Biaya tambahan itu ditanggung oleh konsumen Amerika, bukan oleh eksportir Indonesia. Produk seperti sepatu dan pakaian dari Indonesia tetap laku karena dibutuhkan pasar Amerika.
Bahkan, tarif itu tergolong ringan jika dibandingkan dengan tarif yang dikenakan pada negara-negara lain seperti Tiongkok atau Kamboja yang bisa mencapai 125%. Indonesia masih dalam posisi kompetitif.
✈️ Wajib Beli Produk Amerika: Terpaksa atau Strategi?
Indonesia "diwajibkan" membeli produk-produk Amerika senilai miliaran dolar, termasuk Boeing dan komoditas pertanian. Tapi menurut Pak Mardigu, hal ini tak merugikan karena:
Indonesia memang masih mengimpor 60% kebutuhan BBM.
Gandum dan kedelai memang tak bisa ditanam efisien di Indonesia.
Pesawat baru dari Boeing pun baru dikirim lebih dari 10 tahun lagi, jadi tak langsung membebani.
🪨 Akses Data Mineral dan Isu Nikel: Ancaman atau Transparansi?
Poin paling sensitif adalah soal keterbukaan data mineral. Banyak yang khawatir Amerika akan menekan Indonesia untuk mengakses nikel dan sumber daya strategis lainnya.
Namun menurut Mardigu, transparansi ini justru bisa mengakhiri praktik tambang brutal masa lalu yang hanya menghitung satu jenis mineral dan mengabaikan kandungan berharga lain seperti platinum, torium, uranium, dan emas. Dengan sistem audit terbuka, Indonesia bisa memaksa pembeli membayar lebih adil untuk semua kandungan tambang.
🧠 Strategi ‘Shadow’ dan Daya Tawar Indonesia
Mengakui bahwa daya tawar Indonesia belum cukup kuat, Mardigu mendukung strategi "mengambil hati" Amerika. Ia bahkan menyarankan strategi “shadow”: membeli produk dari Tiongkok, mengganti label menjadi “buatan Indonesia,” lalu mengekspornya ke AS dengan tarif 19%. Hal ini bisa meningkatkan transaksi dolar dan memperkuat rupiah.
Namun, untuk mengimbangi kekuatan negara besar, Indonesia harus segera membangun smelter dan industri hilirisasi mineral—yang butuh waktu 2–5 tahun.
🎓 Bonus Demografi: Berkah atau Masalah?
Masalah fundamental yang belum disorot banyak pihak adalah krisis sumber daya manusia. Dari total populasi usia produktif, hanya 4,3% yang berpendidikan S1. Target 40% di tahun 2045 masih jauh.
Solusinya? Kampus perlu buka 3 shift, dan Indonesia harus berani mengimpor pengajar STEM dari luar negeri. Selain itu, teknologi bio mining—metode pemisahan mineral dengan bakteri yang lebih ramah lingkungan—perlu dikembangkan untuk masa depan tambang yang berkelanjutan.
Kesimpulan: Bukan Soal Dirugikan, Tapi Siap atau Tidak
Perjanjian dagang dengan Amerika bukan bencana. Tapi juga bukan keuntungan otomatis. Ia adalah cermin realitas: apakah Indonesia siap bermain di liga besar dengan strategi, teknologi, dan SDM yang mumpuni?
Jika siap, perjanjian ini adalah kesempatan emas. Jika tidak, bisa jadi kita kembali menjadi “lumbung sumber daya” yang dikuras tanpa nilai tambah.
Sumber:
Video "KESALAHAN PRABOWO ATAU TRUMP? – PERJANJIAN DAGANG AS - INDONESIA" oleh Guru Gembul feat. Pak Mardigu, tayang di YouTube
📺 https://www.youtube.com/watch?v=Iu_fLC0E6fA